Istilah Tobrut, Antara Lelucon dan Menanti Pidana

TITIKTEMU – Penggunaan istilah tobrut (toket brutal) kini sedang marak diperbincangkan publik. Mulanya kerap digunakan sebagai lelucon di media sosial. Namun kini, siapapun yang menyebut kata tersebut, terancam penjara dan terkena denda Rp 10jt.

Akademisi Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA) sekaligus pemerhati isu perempuan, Weni Adityasning Arindawati, S.IP., MA turut menyoroti fenomena tersebut.

Pasalnya, baru-baru ini media massa serempak memberitakan ancaman terhadap siapapun yang melontarkan kata tobrut. Dengan acuan peraturan yang tertera dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12 Tahun 2022 pasal 5.

“Fenomena penggunaan bahasa gaul menarik untuk dicermati. Pertama, penggunaan bahasa diranah medsos memungkinkan pengguna untuk mempersingkat teks sebab ruang/dimensinya terbatas. Kedua, bahasa gaul merupakan salah satu budaya anak muda sebagai bagian dari tindak tutur dalam berkomunikasi interpersonal dengan sesamanya sehingga intimasi dan penerimaan sosial akan terbentuk,” ujar Weni pada Jum’at, (2/8/2024).

Namun di sisi lain, dikatakan Weni, penggunaan bahasa gaul berpotensi memunculkan pemahaman negatif yang mengarah pada pelecehan seksual, cyber bullying atau kekerasan non-fisik (emosional).

“Hal tersebut masuk ke dalam kategori kekerasan berbasis gender online (KGBO) yaitu pelecehan online,” kata Weni.

Ia menyebutkan, Komnas Perempuan bahkan sudah mendata 8 bentuk KGBO antara lain; pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/vidio pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation dan rekrutmen online (online recruitment).

“Penggunaan bahasa gaul tobrut menurut saya ada 2 kategori yang bisa dibedakan. Pertama, dalam perspektif khalayak media digital, ini merupakan suatu kondisi dimana seorang individu mengalami FOMO atau kecemasan akan kehilangan momen berharga agar menjadi bagian dari kelompok sosial tersebut dan ingin terus terhubung dengan orang lain melalui internet,” paparnya.

“Kedua, dalam perspektif kajian gender, budaya patriarki yang mengakar sejak nenek moyang kita berdampak pada objektifikasi perempuan. Perempuan dipandang sebagai sebuah objek pemuas hasrat seksual,” imbuhnya.

Menurutnya, objektifikasi tubuh perempuan merupakan suatu bentuk dehumanisasi terhadap kaum perempuan. Oleh karenanya, penggunaan kata tobrut sangat jelas terkategori sebagai pelecehan terhadap perempuan.

Sisi lain, ia juga menyayangkan, tindakan ini justru berpeluang dilakukan oleh sesama perempuan. Weni menegaskan, jika perempuan melabelkan istilah tobrut kepada perempuan lainnya, maka ia telah merendahkan martabatnya sendiri sebagai perempuan.

“Tindakan tersebut (jelas) merendahkan martabat perempuan,” pungkasnya. (Aip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.